Kilas Jejak Sewinduku di Perantauan (Part 2)
Next Story….
Tahun 2002, menjelang liburan akhir tahun. Hari pertama menginjakkan kaki di rumah, ku dikagetkan dengan cerita ibuku bahwa kakek menderita strok. Dan sekarang mengalami lumpuh di sebagian tubuhnya. Beberapa minggu sebelumnya, kakek sempat mengalami mati suri, lanjut cerita ibu. Tak cukup banyak waktu ku habiskan di rumah, sebelum akhirnya ku memutuskan berangkat untuk merawat kakek yang kebetulan pada waktu itu menjalani obat jalan. Bersama dengan pamanku, ku tinggalkan rumahku menuju tempat kakek dirawat. Tak lain adalah rumah kedua pamanku yang kebetulan kosong dan belum dihuni, karena untuk sementara waktu pamanku masih tinggal di rumah kontrakannya. Selain sebagian tubuhnya mengalami lumpuh, alat pengeluaran kakek terjangkit penyakit kangker. Akibatnya, beliau tidak bisa mengatur bahkan tidak bisa merasakan ketika buang air besar. Dan Ramadhan tahun ini, ku habiskan waktuku untuk mengabdi kepada kakekku.
Malam sebelum Idul Fitri, ku pulang ke rumah. Seperti tahun sebelumnya, tak banyak waktuku untuk bisa bersama keluarga. Tanggal 7 Syawal ku harus kembali lagi ke pesantren.
“Kek, jaga kesehatanmu yah. Cucu hanya bisa sampai di sini merawatmu. Kasih sayang yang kau berikan kepadaku tidak akan pernah kulupakan sepanjang hidupku. Sudah tentu, termasuk waktu yang kau habiskan untuk membesarkan orang tuaku. Jaga diri baik-baik ya!”
Di pertengahan tahun kemudian ku mendapatkan kabar dari rumah bahwa kakekku meninggal. Ku hanya bisa meneteskan air mata di pesantren tanpa bisa mengantar kepergiaannya.
“Sekali lagi maaf kek, cucu tidak bisa mengantar kepergianmu. Namun cucu akan selalu menengadahkan kedua tangan ini memohon ampunan untukmu. Kek…Selamat Jalan!”
Tanpa sadar, ku sudah berada di tengah-tengah perjalananku di pesantren. Sekarang ini ku duduk di kelas V. Dan pada tahun inilah, ku benar-benar digembleng untuk bisa mandiri dan diuji kedewasaanku. Sebagian dari kelas V diangkat menjadi kakak pembimbing (Mudabbir) untuk di tempatkan di asrama-asrama sebagai senior.
“Berkorbanlah tapi jangan jadi korban.”
Menurut peraturan yang ada, kelas V wajib tinggal di Pesantren selama Ramdhan untuk mempersiapkan segala keperluan dalam penyambutan santri-santri baru di bulan Syawal nanti sambil menunggu pengumuman kenaikan ke kelas VI. Jadi Idul Fitri beserta Idul Adha seratus persen ku jalani di Pondok. Hampir 1,5 tahun ku benar-benar tidak menginjakkan kakiku di kampung halaman.
“Long live education”
Tidak tahu harus senang ataukah bersedih, yang pasti pada tahun 2003 sampai pertengahan tahun 2004 kuhabiskan waktuku di pesantren.
*****
10 Ramadhan 1425 H, detik-detik menjelang Yudisium kelulusan kelas VI, kedua orang tua beserta adik terkecilku datang untuk menjemput kepulanganku dari pondok.
“Ya Allah diriku sungguh berterima kasih atas segala kenikmatan yang telah Engkau berikan kepada hambamu yang lemah ini, baik nikmat hidayah maupun ilmu”
Begitulah desiran lidah ini mengucap ketika panggilan kelulusan atas nama diriku disebutkan. Dengan sedikit lari kecil, ku ayuhkan langkah menuju aula untuk mengambil
Dengan berakhirnya masa pendidikanku, maka ku bisa kembali ke kampung halaman.
Ramadhan bagiku menjadi bulan yang berbeda. Baru kemarin lusa kaki menginjakkan rumah, dering telepon dari desa seberang memaksa diriku untuk meninggalkan rumah dan menyisihkan sebagian hari-hari Ramadhanku di tempat lain. Sebuah madrasah swasta yang mengelola pendidikan mulai dari Diniyah (SD) sampai dengan Aliyah (SLTA), memintaku menjadi tutor pengajar sementara selama Ramadhan. Darul Ulum, itulah nama madrasahnya, bertempat di desa Gembong. Pesantren Kilat yang diadakannya membutuhkan beberapa pengajar tambahan. Dari beberapa orang yang dijadikan pengajar tambahan, tak lain mereka adalah kawan-kawanku dari pesantren. Dan tidak heran, jika diriku direkrut untuk membantu mengajar, karena pemilik dari madrasah swasta ini ternyata ayah dari adik kelasku di pesantren. Di sinilah ku habiskan sebagian besar hari-hari Ramadhanku. 11 Ramadhan ku sampai di rumah lalu 13 Ramadhan ku tinggalkan rumah tuk mengisi Pesantren Kilat di Madrasah Darul Ulum. Setelah 1,5 tahun tidak berada di rumah, toh liburanku ternyata gak ku habiskan di rumah lagi.
“Wahai tanah tempat kaki ini melangkah, jadilah engkau saksi-saksi buat amal kebaikanku di akhirat nanti”
3 Syawal 1425H, ku kembali lagi kepondok untuk mendapatkan pembekalan sebelum akhirnya dilepas ke tempat-tempat pengabdian. Pengabdian setelah kelulusan merupakan syarat mutlak di pesantren, sebagai syarat untuk mengambil ijazah.
“Pak, Bu…maafkan anakmu ini kalau hanya bisa mampir minum di rumah sementara waktu saja. Tugas-tugas buat anakmu ini sudah menunggu di seberang
Selepas penataran guru baru, kami dilepas menuju tampat pengabdian masing-masing. Di Gontor 3 ku di tempatkan di koperasi usaha pondok. Dan kegiatan harianku, pagi mengajar di dalam pondok, siang menjaga koperasi, menjelang sore mengajar di TPQ, dilanjutkan dengan kuliah malam plus keliling di jam belajar malam santri. Tengah malamnya beralih profesi menjadi jagal ayam karena kebetulan ku mendapat amanah tambahan untuk mengelola pemotongan ayam milik pondok. Selama hampir setahun kujalani rutinitas yang padat itu.
“Lelah…capek…ah tidak juga...yang penting enjoy menikmati hari-hari seperti itu.”
Siang, malam, panas, dingin, hujan, mendung, berlalu mengalir begitu saja. Sampai tak terasa ku berada di penghujung waktu pengabdian.
Sambil mengantarkan kepulangan santri yang kebetulan sedaerah, diriku juga pamit dari pondok. Akan tetapi, tidak berlangsung lama ku di rumah. Baru 2 hari ku di rumah, tiba-tiba mendapatkan telepon dari pimpinan pondok untuk menyelsaikan laporan keuangan sebelum tutup buku.
“Hufft..Pak, Bu…anakmu pergi lagi yah!”
“Wahai Ramadhan, ternyata ku habiskan waktumu di pesantren lagi…”
10 Ramadhan 1426 H, ku telah menyelesaikan pembukuan. Baik itu laporan untuk koperasi usaha pondok ataupun usaha pemotongan ayam pondok.
“Oh pondokku…farewell…see yaa next time”
11 Ramadhan, akhirnya ku dapat merebahkan badan ini di rumah tercinta. Tapi, sekali lagi ku gak bisa lama di rumah. Kali ini akan berbeda dengan sebelumnya. Karena ku harus mempersiapkan keperluanku untuk berangkat ke Mesir. Melanjutkan studiku di Universitas al-Azhar. Jadwal penerbanganku 17 Ramadhan depan. Maka, sisa waktuku di rumah hanya seminggu. 15 Ramadhan, ku berangkat menuju bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng. Kali ini ku akan pergi jauh dan lama. Minimal 3, 5 tahun akan kuhabiskan waktuku di Mesir.
Sehabis sholat Isya’ ku check in…dari belakang ku lihat isakan tangis ibuku. Lambaian lembut adik kecilku. Senyuman getir kakakku. Cuman ayahku yang kelihatan tenang mengantar kepergianku. Walaupun sebenarnya ku tahu, kalau beliau juga menahan sedih melepas kepergianku. Sambil menarik troli bagasi tas, ku kulambaikan tangaku untuk terakhir kalinya.
“Ridho dan Do’a…dua bekal yang menguatkan perasaan ini untuk pergi ke negeri orang. Terima kasih semuanya. Ayah, Ibu, Kakak dan Adek…maafkan diriku jika 3-4 tahun ke depan, diriku tidak bisa lagi bercanda tawa menyambut lebaran bersama kalian lagi. Selamat tinggal semua…berilah keihklasan kalian untuk melepas kepergianku…terima kasih.”
22 Oktober 2005 ku meninggalkan Indonesia menuju Mesir. Dan malam ini, 9 Desember 2008 ku goreskan sejarah sewindu perjalanan hidupku. Walaupun banyak kisah yang belum ku sampaikan. Namun satu hal yang sangat ku rasakan malam ini, di saat jari-jari ini menari di atas keyboard. Sebuah kerinduan yang mendalam. Kerinduan yang terpendam. Kerinduan yang menggunung di atas punggung ini. Yang semakin lama semakin berat menanggung bebannya.
Sekarang ku berada di tingkat akhir, hanya tinggal setengah tahun lagi ku akan menyelesaikan studiku di Universitas al-Azhar. Tinggal satu tantangan lagi yang harus ku jawab sebagai syarat kepulanganku.
“Mampukah ku menyelesaikan ujian tingkat akhirku ini?”
Ya Allah…berikanlah ku yang terbaik.
Ya Allah…berikanlah ku yang terbaik.
Ya Allah…berikanlah ku yang terbaik.
Ya Allah…berikanlah ku yang terbaik.
Ya Allah…berikanlah ku yang terbaik.
Dan…. Ya Allah…berikanlah ku yang terbaik.
“Ku ingin berkumpul dengan keluargaku di lebaran yang akan datang.”
“Grant my wish, please…”
Amiieenn…..
Ingatkah kisah seorang perjuangan sang proklamator "Soekarno",
atau seorang pujangga cinta seperti "Romeo"...!!!
Aku bukanlah seperti mereka. Seorang revolusioner,
berjiwa pejuang dan selalu berada di garis depan menghadapi penjajah.
Dan Aku bukan pula pujangga cinta
yang pandai merangkai puisi-puisi indah untuk pujaan hati.
Namun asal kalian tahu! ...
Aku adalah Aku...
yang dilahirkan dari rahim ibuku...
dan selamanya Aku adalah Aku... Bukan mereka.
Biarkanlah Aku menjadi diriku sendiri.
Mencetak sejarahku sendiri. Mengukir kisah hidupku sendiri. Lihatlah Aku maka kau akan tahu siapa Aku.
By.BadBoiiGenius.
Sapa yang di hatinya tidak mengharapkan sesuatu.
kalau ada pilihan kata untuk mewakili keinginanku,
jika air laut ku jadikan tinta,
tak akanlah cukup tetesan airnya untuk menuliskan all off my wishes.
Cos, keinginan manusia itu tidak akan pernah terbatasi-unlimited-satu harapan
terpenuhi muncul keinginan yang lain.
Namun, ada hal yang selama ini ingin ku gapai.
" I miss my family so much "
one enough, another wishes are on the waiting list.
Lets make our wish!