Feeling About Love
Lembaran novel cinta di dunia nyata, goresan pena pujangga di hati sang pujaan. Ukir kisah kenangan kehidupan nan panjang. Everything is about love.
Mengapa cinta bisa timbul ke permukaan? Rasa dorongan akan memiliki hawa semakin mendalam. Bukan hanya sekedar bisikan Syaithan belaka, namun berharap ini adalah anugrah dariNya. Sebuah amanah untuk memenuhi panggilanNya. Melengkapi separuh agama yang belum tersempurnakan.
Iffah dalam perbuatan, jernih dalam fikiran dan melaju demi keutuhan kodrat illahi sebagai makhluk yang sempurna.
Wahai engkau yang di
Terbalut sedih dan luka
Namun banyak berharap darinya
Cahaya kebahagiaan di alam nyata
Melemahlah hati ketika,
Pandangan kosong tanpa kehadirannya
Akankah selalu berkata,
Benarkah ini perasaan cinta sejati!
Kalau engkau tahu
Kalau engkau mengerti
Kalau engkau menyadari
Apa artinya sebuah… “Bersama demi cinta”
Entah langit mendung menggulung tinggi
Entah angin bertiup tanpa arah
Entah samudra menjulang ke angkasa
Dan entah jika dunia ini roboh
Namun sumpah janji setia akan selalu mengikat sepanjang hayat
Ku berlari sepanjang jalan ini
Ku berhenti sepanjang ruas harapan
Ku duduk termenung dalam penantian
Ku berdiri! Ku gapai engkau cinta
Dekaplah diriku dalam pelukanmu
Hati
Sungguh begitu ajaib
Hati
Sungguh sangat merah melegat
Hati
Ungkapan rasa, kata dan suara akan dirinya
Mari satukan hati
Hapus segala pedih di dalamnya
Agar semua menjadi indah
Untuk selamanya
Dirimu dan Diriku…
Kilas Jejak Sewinduku di Perantauan (Part 2)
Next Story….
Tahun 2002, menjelang liburan akhir tahun. Hari pertama menginjakkan kaki di rumah, ku dikagetkan dengan cerita ibuku bahwa kakek menderita strok. Dan sekarang mengalami lumpuh di sebagian tubuhnya. Beberapa minggu sebelumnya, kakek sempat mengalami mati suri, lanjut cerita ibu. Tak cukup banyak waktu ku habiskan di rumah, sebelum akhirnya ku memutuskan berangkat untuk merawat kakek yang kebetulan pada waktu itu menjalani obat jalan. Bersama dengan pamanku, ku tinggalkan rumahku menuju tempat kakek dirawat. Tak lain adalah rumah kedua pamanku yang kebetulan kosong dan belum dihuni, karena untuk sementara waktu pamanku masih tinggal di rumah kontrakannya. Selain sebagian tubuhnya mengalami lumpuh, alat pengeluaran kakek terjangkit penyakit kangker. Akibatnya, beliau tidak bisa mengatur bahkan tidak bisa merasakan ketika buang air besar. Dan Ramadhan tahun ini, ku habiskan waktuku untuk mengabdi kepada kakekku.
Malam sebelum Idul Fitri, ku pulang ke rumah. Seperti tahun sebelumnya, tak banyak waktuku untuk bisa bersama keluarga. Tanggal 7 Syawal ku harus kembali lagi ke pesantren.
“Kek, jaga kesehatanmu yah. Cucu hanya bisa sampai di sini merawatmu. Kasih sayang yang kau berikan kepadaku tidak akan pernah kulupakan sepanjang hidupku. Sudah tentu, termasuk waktu yang kau habiskan untuk membesarkan orang tuaku. Jaga diri baik-baik ya!”
Di pertengahan tahun kemudian ku mendapatkan kabar dari rumah bahwa kakekku meninggal. Ku hanya bisa meneteskan air mata di pesantren tanpa bisa mengantar kepergiaannya.
“Sekali lagi maaf kek, cucu tidak bisa mengantar kepergianmu. Namun cucu akan selalu menengadahkan kedua tangan ini memohon ampunan untukmu. Kek…Selamat Jalan!”
Tanpa sadar, ku sudah berada di tengah-tengah perjalananku di pesantren. Sekarang ini ku duduk di kelas V. Dan pada tahun inilah, ku benar-benar digembleng untuk bisa mandiri dan diuji kedewasaanku. Sebagian dari kelas V diangkat menjadi kakak pembimbing (Mudabbir) untuk di tempatkan di asrama-asrama sebagai senior.
“Berkorbanlah tapi jangan jadi korban.”
Menurut peraturan yang ada, kelas V wajib tinggal di Pesantren selama Ramdhan untuk mempersiapkan segala keperluan dalam penyambutan santri-santri baru di bulan Syawal nanti sambil menunggu pengumuman kenaikan ke kelas VI. Jadi Idul Fitri beserta Idul Adha seratus persen ku jalani di Pondok. Hampir 1,5 tahun ku benar-benar tidak menginjakkan kakiku di kampung halaman.
“Long live education”
Tidak tahu harus senang ataukah bersedih, yang pasti pada tahun 2003 sampai pertengahan tahun 2004 kuhabiskan waktuku di pesantren.
*****
10 Ramadhan 1425 H, detik-detik menjelang Yudisium kelulusan kelas VI, kedua orang tua beserta adik terkecilku datang untuk menjemput kepulanganku dari pondok.
“Ya Allah diriku sungguh berterima kasih atas segala kenikmatan yang telah Engkau berikan kepada hambamu yang lemah ini, baik nikmat hidayah maupun ilmu”
Begitulah desiran lidah ini mengucap ketika panggilan kelulusan atas nama diriku disebutkan. Dengan sedikit lari kecil, ku ayuhkan langkah menuju aula untuk mengambil
Dengan berakhirnya masa pendidikanku, maka ku bisa kembali ke kampung halaman.
Ramadhan bagiku menjadi bulan yang berbeda. Baru kemarin lusa kaki menginjakkan rumah, dering telepon dari desa seberang memaksa diriku untuk meninggalkan rumah dan menyisihkan sebagian hari-hari Ramadhanku di tempat lain. Sebuah madrasah swasta yang mengelola pendidikan mulai dari Diniyah (SD) sampai dengan Aliyah (SLTA), memintaku menjadi tutor pengajar sementara selama Ramadhan. Darul Ulum, itulah nama madrasahnya, bertempat di desa Gembong. Pesantren Kilat yang diadakannya membutuhkan beberapa pengajar tambahan. Dari beberapa orang yang dijadikan pengajar tambahan, tak lain mereka adalah kawan-kawanku dari pesantren. Dan tidak heran, jika diriku direkrut untuk membantu mengajar, karena pemilik dari madrasah swasta ini ternyata ayah dari adik kelasku di pesantren. Di sinilah ku habiskan sebagian besar hari-hari Ramadhanku. 11 Ramadhan ku sampai di rumah lalu 13 Ramadhan ku tinggalkan rumah tuk mengisi Pesantren Kilat di Madrasah Darul Ulum. Setelah 1,5 tahun tidak berada di rumah, toh liburanku ternyata gak ku habiskan di rumah lagi.
“Wahai tanah tempat kaki ini melangkah, jadilah engkau saksi-saksi buat amal kebaikanku di akhirat nanti”
3 Syawal 1425H, ku kembali lagi kepondok untuk mendapatkan pembekalan sebelum akhirnya dilepas ke tempat-tempat pengabdian. Pengabdian setelah kelulusan merupakan syarat mutlak di pesantren, sebagai syarat untuk mengambil ijazah.
“Pak, Bu…maafkan anakmu ini kalau hanya bisa mampir minum di rumah sementara waktu saja. Tugas-tugas buat anakmu ini sudah menunggu di seberang
Selepas penataran guru baru, kami dilepas menuju tampat pengabdian masing-masing. Di Gontor 3 ku di tempatkan di koperasi usaha pondok. Dan kegiatan harianku, pagi mengajar di dalam pondok, siang menjaga koperasi, menjelang sore mengajar di TPQ, dilanjutkan dengan kuliah malam plus keliling di jam belajar malam santri. Tengah malamnya beralih profesi menjadi jagal ayam karena kebetulan ku mendapat amanah tambahan untuk mengelola pemotongan ayam milik pondok. Selama hampir setahun kujalani rutinitas yang padat itu.
“Lelah…capek…ah tidak juga...yang penting enjoy menikmati hari-hari seperti itu.”
Siang, malam, panas, dingin, hujan, mendung, berlalu mengalir begitu saja. Sampai tak terasa ku berada di penghujung waktu pengabdian.
Sambil mengantarkan kepulangan santri yang kebetulan sedaerah, diriku juga pamit dari pondok. Akan tetapi, tidak berlangsung lama ku di rumah. Baru 2 hari ku di rumah, tiba-tiba mendapatkan telepon dari pimpinan pondok untuk menyelsaikan laporan keuangan sebelum tutup buku.
“Hufft..Pak, Bu…anakmu pergi lagi yah!”
“Wahai Ramadhan, ternyata ku habiskan waktumu di pesantren lagi…”
10 Ramadhan 1426 H, ku telah menyelesaikan pembukuan. Baik itu laporan untuk koperasi usaha pondok ataupun usaha pemotongan ayam pondok.
“Oh pondokku…farewell…see yaa next time”
11 Ramadhan, akhirnya ku dapat merebahkan badan ini di rumah tercinta. Tapi, sekali lagi ku gak bisa lama di rumah. Kali ini akan berbeda dengan sebelumnya. Karena ku harus mempersiapkan keperluanku untuk berangkat ke Mesir. Melanjutkan studiku di Universitas al-Azhar. Jadwal penerbanganku 17 Ramadhan depan. Maka, sisa waktuku di rumah hanya seminggu. 15 Ramadhan, ku berangkat menuju bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng. Kali ini ku akan pergi jauh dan lama. Minimal 3, 5 tahun akan kuhabiskan waktuku di Mesir.
Sehabis sholat Isya’ ku check in…dari belakang ku lihat isakan tangis ibuku. Lambaian lembut adik kecilku. Senyuman getir kakakku. Cuman ayahku yang kelihatan tenang mengantar kepergianku. Walaupun sebenarnya ku tahu, kalau beliau juga menahan sedih melepas kepergianku. Sambil menarik troli bagasi tas, ku kulambaikan tangaku untuk terakhir kalinya.
“Ridho dan Do’a…dua bekal yang menguatkan perasaan ini untuk pergi ke negeri orang. Terima kasih semuanya. Ayah, Ibu, Kakak dan Adek…maafkan diriku jika 3-4 tahun ke depan, diriku tidak bisa lagi bercanda tawa menyambut lebaran bersama kalian lagi. Selamat tinggal semua…berilah keihklasan kalian untuk melepas kepergianku…terima kasih.”
22 Oktober 2005 ku meninggalkan Indonesia menuju Mesir. Dan malam ini, 9 Desember 2008 ku goreskan sejarah sewindu perjalanan hidupku. Walaupun banyak kisah yang belum ku sampaikan. Namun satu hal yang sangat ku rasakan malam ini, di saat jari-jari ini menari di atas keyboard. Sebuah kerinduan yang mendalam. Kerinduan yang terpendam. Kerinduan yang menggunung di atas punggung ini. Yang semakin lama semakin berat menanggung bebannya.
Sekarang ku berada di tingkat akhir, hanya tinggal setengah tahun lagi ku akan menyelesaikan studiku di Universitas al-Azhar. Tinggal satu tantangan lagi yang harus ku jawab sebagai syarat kepulanganku.
“Mampukah ku menyelesaikan ujian tingkat akhirku ini?”
Ya Allah…berikanlah ku yang terbaik.
Ya Allah…berikanlah ku yang terbaik.
Ya Allah…berikanlah ku yang terbaik.
Ya Allah…berikanlah ku yang terbaik.
Ya Allah…berikanlah ku yang terbaik.
Dan…. Ya Allah…berikanlah ku yang terbaik.
“Ku ingin berkumpul dengan keluargaku di lebaran yang akan datang.”
“Grant my wish, please…”
Amiieenn…..
Kilas Jejak Sewinduku di Perantauan
Tak terasa, sudah sewindu ku berkelana dan berkeliaran di alam luar. Meninggalkan kampung halaman. Mom, dad and all off my brother…I miss all off u so much.
It has been eight years since I left my village went to another village and country. Looking for science and brand new experience. My beloved family…forgive me to be selfish aboard leaving all off u all.
Perasaan sedih, rindu akan kampung halaman selalu membayangi mimpi-mimpi malamku. Kenangan kebersamaan bersama keluarga selalu membayangi gerak langkahku. Namun, ku selalu berusaha untuk tersenyum. “Pak, Bu…doakan selalu anakmu agar mampu menjalani kehidupan di dunia ini.”
6 Juni 2000 -catatan sejarah harianku- kaki ini melangkah keluar meninggalkan rumah tersayang, meninggalkan desa tercinta dengan berbagai kenangan indah yang ada di dalamnya. “aku pergi, bukan berarti ku tak akan kembali.” Tepatnya pukul 01.00 dini hari, di tengah heningnya malam, berbagai perasaan berbaur di dalam lubuk hati ini. Senang karena akan menghadapi sebuah kehidupan yang masih dalam misteri, tantangan-tantangan yang tak akan pernah terlupakan bercampur dengan perasaan sedih jauh dari keluarga dan sanak famili. “Keluarlah dari desa tempat tinggalmu, maka kamu akan mendapatkan hal-hal baru yang selama ini tidak kamu ketahui.”
Ku bulatkan tekadku untuk akhirnya tinggal di sebuah pondok pesantren. P.M Darussalam Gontor namanya. Tidak begitu muluk-muluk permintaanku, cukup sederhana awal cita-cita ku yang akhirnya membawaku ke dunia pesantren, “Aku hanya ingin bisa mengaji” di umurku yang sudah menginjak masa remaja, tapi tak satu kalimat pun mampu ku baca dengan baik dan benar. Tak satu
Setelah hampir 6 bulan ku menyandang status sebagai calon santri atau calon pelajar, akhirnya ku dapat juga menyematkan di atas dadaku ini kalau aku sudah menjadi Santri di P.M Darussalam Gontor. Dari sekitar 2500 calon santri yang bersaing bersamaku pada waktu itu, hanya sekitar 800-an yang di terima di Gontor, dan sisanya kembali menjadi calon santri lagi atau ke kampung halaman. “Percayalah, Tuhan akan mengubah garis hidup manusia jika mau berikhtiar dengan sungguh-sungguh.”
Tahun 2001, mungkin itu Ramadhan terakhir, sebulan penuh ku habiskan bersama keluarga. Tanpa ku sadari jikalau bulan-bulan selanjutnya, ku tak akan merasakan kebersamaan lagi. Memang masih terlalu pagi ku meninggalkan indahnya bulan syawal bersama keluarga dan bersilaturahmi ke sanak saudara, pasalnya pada tanggal 7 Syawal ku harus kembali lagi ke pondok pesantren. Apa boleh dikata, kalau itu memang sudah suratan yang di Atas. Ku harus meninggalkan kampung halaman lagi.
“Welcome to
Di pesantren, ku masuk dalam klasifikasi kelas program Intensive. Program kelas paket, yang merangkum 2 tahun mata pelajaran menjadi 1 tahun mata pelajaran. Singkatnya, mata pelajaran yang seharusnya diajarkan dalam masa satu tahun hanya disampaikan setengah tahun saja. Jadi selama satu tahun penuh, kelas program Intensive ini disuguhi dengan dua tahun materi pelajaran. Dengan jadwal kegiatan yang begitu padat, membuatku lupa akan tanah kelahiranku. Tak terasa, Idul Adha pun tiba. Inilah kali pertama ku merasakan lebaran jauh dari sanak keluarga. “Idul Adha 1422 H, mata ini tak terasa menjadi berkaca-kaca mendengarkan lantunan takbir yang menggema. Malam, ingatlah bahwa engkau hari ini menjadi saksi bisu teriakan hatiku.”
Pertengahan tahun pertama, ku merasakan cukup enjoy belajar. Karena di dalam kelas, para guru pengajar menyampaikan materi pelajaran memakai bahasa
”Kalau bukan tantangan, bukan hidup namanya!”
Ujian akhir tahun pun tiba-tiba menghampiri, dan alhmdulillah ku berhak melanjutkan ke jenjang selanjutnya. Meskipun ku baru mengetahui kenaikanku ketika di bulan Syawal kemudian. Berbeda dengan bulan Ramadhan sebelumnya, tahun ini Ramadhanku kuhabiskan di pondok pesantren salaf. Ku ingin menebus kekurangan yang ku rasakan. Agar perbedaan basik, tidak selalu ku jadikan kambing hitam karena berbeda dengan teman-teman yang memang sudah belajar bahasa arab sebelumnya.
“No more reason to run”
Walaupun ku juga ada maksud lain dengan menghabiskan masa liburanku ke pondok salaf, tak lain adalah keingintahuanku tentang perbedaan metodologi pengajaran.
“Lets up grad our abilities!”
“Tanpa ku sadari, hati ini dipenuhi dengan keinginan yang membara. Ya Tuhan, biarkanlah perasaan keingintahuanku selalu bersemayam di dadaku, agar ku selalu berusaha untuk mencari rahasia-rahasia di balik keangunganMu”
Hanya dua minggu kuhabiskan Ramadhan beserta Lebaran Idul Fitri bersama keluarga, sebelum akhirnya tanggal 7 Syawal ku harus kembali ke pondok pesantren.
Dengan langkah yang lebih pasti, ku kuatkan niat. Bismillah, ku memasuki tahun ke-3 dari perjalanan panjangku. Cukup merasakan perbedaan dari tahun sebelumnya, dan tidak terlalu lama untuk mengondisikan diri dengan lingkungan yang ada. Pengalaman tahun kemarin membimbingku dengan sendirinya. Lain anak baru, lain pula ketika menginjak anak lama. Segala peraturan yang begitu mengekang ketika masih baru, sekarang agak melonggar. Berbagai kegiatan ekstrakurikuler disodorkan. Dan teman-teman pun asyik mengambil bidang ektrakurikuler yang mereka sukai.
Begitu pula dengan diriku ini, untuk memenuhi hasratku ke dunia seni, maka ku mendaftarkan diri ke Kursus Letter. Berlatih merangkai huruf yang indah dan berkreasi dengan lipatan-lipatan kertas untuk bcakground. Tapi ku tidak bertahan lama, kerana ku sudah merasa cukup dengan apa yang ingin ku ambil. Setelah itu berlanjut ke Martial Art, belajar bela diri untuk mengisi kekosongan waktu di sore hari. Sedang untuk malam harinya, ku habiskan beberapa menitku bersama teman-teman yang pandai dalam Qori. Dengan keinginan, “walaupun tidak sebagus mereka, paling tidak ku sudah pernah mencoba.”
Memasuki Idul Adha 1423H, kesedihanku tidak sedalam pertama kali ku di perantauan. Meskipun masih terbayang kenangan bersama teman-teman di kampung halaman, namun dapat terobati ketika berkumpul dengan teman baru yang senasib dan sepenganggungan.
Apakah sebuah aib apabila seorang wanita mengungkapkan perasaannya kepada pria?
Ketika bunga mulai bersemi di taman hati, jiwa-jiwa yang melayang bagai kumbang datang berdekatan. Sebuah ungkapan kata seketika membebani lidah lantaran terbentur oleh kodrat illahi. Layakkah seorang Hawa apabila memulai mengungkapkan perasaannya kepada si Adam?.
Perasaan yang mulai tumbuh di bawah alam sadar tiba-tiba membutakan mata batin. Rasa takut akan kehilangan mengacaukan pikiran jernih. Sekali lagi..mungkinkah Hawa menembak sang Adam?.
Dengan kodrat sebagai seorang wanita, seharusnyalah menunggu sang Adam untuk menjemput. Namun ketika sang Adam tak menghiraukan ayat-ayat cinta sang Hawa, apakah Hawa harus menjatuhkan martabat kesuciannya sebagai seorang wanita untuk memulai mengungkapkan kata cinta?
Berbenturan dengan kodrat yang mengekang, terpaksa sebagian dari kaum Hawa hanya berdiam memendam perasaan yang kemudian hanyut mengalir ke telaga. Punah rasa hati ketika melihat sang pujaan hati akhirnya menyunting dan memetik bunga lain. Rasa sesal terkadang muncul mendatangkan beribu penyesalan, namun apakah dengan begitu sang Hawa harus terpaksa menyerah dan mengungkapkan perasaannya?
Dan ketika sang Adam mulai acuh, Hawa pun terpaksa menangis di sudut kamar tersenggal-senggal…"mengapa kau sampai hati tidak mau mengerti perasaanku ini, haruskah ku korbankan martabat wanitaku supaya kau tahu bahwa aku cinta padamu." Apakah Hawa harus mengalah menghadapi perasaannya?
Mungkin benar jika sang Hawa harus menunggu. Rasa segan dan malu lebih banyak terkandung dalam tubuh seorang Hawa. Adam seharusnya lebih gagah dihadapan sang Hawa bak seorang pangeran berkuda yang menjemput putri kerajaan. Akan tetapi ketika sang Adam mendapatkan permasalahan yang serupa. Keterbatasan kuasa untuk mengungkapkan isi hatinya terpaksa harus membungkam mulutnya,
beban berat yang jatuh di punggung Adam seakan tak mampu untuk ditolak dari punggung. Hanya sebuah tatapan dari jauhlah yang dapat dia lakukan. "Seandainya ku mampu…maukah kau kujemput wahai Hawa…aku rindu.." Ternyata sang Adam harus juga mengalah.
Ketika dua hati mulai saling berbicara, namun rasa ego dan kelemahan sekali lagi membungkan keduanya. Hanya saling memandang dengan penuh harapan adalah jalan akhir yang dapat dilakukan. Dan akhirnya saling terpisah tanpa satu pun yang mengungkapkan isi hatinya. Jadi, siapakah yang lebih utama untuk memulai…sang Adam ataukah Hawa?
Yang pasti sang Adam itu lebih layak untuk memulai. Akan tetapi
jikalau sang Adam hanya diam membisu, apakah sang Hawa harus rela melepaskannya dan hanyut dalam tiupan waktu lalu bersanding dengan yang lain? Kalau tidak, siapkah untuk melepaskan baju kebesaran sebagai Hawa untuk menggapai cinta sebelum akhirnya pergi?
Dan seandainya kalau lebih memilih untuk menjaga sebuah martabat; "Segala sesuatu yang kita sukai, tidaklah semestinya harus kita miliki semua. Suatu hari nanti, kita pun pasti akan terpisah dengan apa yang paling kita sayangi walau bukan sekarang. Walaupun aku tak mampu memilikinya, namun kau akan selalu jadi milikku meskipun hanya dalam mimpi."
Bagi mahasiswa yang berlatar belakang menengah ke atas, gejolak meningkatnya kebutuhan sosial mungkin kurang berpengaruh. Namun hal ini akan menjadi sangat urgen bila kita memandang ke bawah, kepada mereka yang berbackground menengah ke bawah. Dengan biaya sewa yang semakin mencekik, kita tidak bisa mengindahkannya sebelah mata saja. lalu bagaimana untuk mempertahankan eksistensi mereka dalam dunia pendidikan, untuk menstabilkan laju pendidikan yang mulai goyah akibat terpaan ekonomi yang semakin memberatkan studi mereka?
Sebut saja Rere, dia salah satu mahasiswa yang terdaftar di universitas di Mesir. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dia menyisihkan waktu luangnya untuk mencari penghasilan tambahan demi menyokong biaya pendidikannya. Bisnis dalam skala mikro yang termasuk jenis dari home industri ini dijalankannya bukan semata karena ingin menjadi TKI di negara orang, melainkan merupakan keterpanggilan akan kebutuhan yang semakin meningkat.
Kemudian Anggara, dia menghabiskan waktu istirahatnya sepulang dari kuliah di dapur Café untuk mencuci piring dan menjadi pembantu masak demi mengumpulkan recehan-recehan pound untuk melunasi biaya administrsi perkuliahannya. Sedangkan Ahmad, dengan kemampuannya dalam memotong rambut, dia menjadikan skilnya sebagai alat penghasil pound-pound Mesir.
Mereka adalah segelintir contoh ‘Pelajar Jadi-Jadian’ atau ‘TKI Terhormat’. Penulis mengistilahkannya sebagai “Pelajar Jadi-Jadian” bukan karena bisa berubah wujud menjadi babi ngepet atau pun yang lainya, karena tidak berhubungan dengan hal-hal mistik. Akan tetapi, tertuju pada kemampuannya dalam memenej waktu. Terkadang dia mampu menjadi mahasiswa yang baik di Kampus, dengan selalu menghadiri setiap mata perkuliahan, namun dia juga bisa menjadi seorang pekerja di Café sebagai pembantu masak atau pencuci piring. Atau pun menjadi pekerja untuk dirinya sendiri dengan bergelut dalam bisnis home industrinya. Sedang korelasi antara “Pelajar Jadi-Jadian” dan “TKI Terhormat” adalah selain menjadi seorang akademisi dia juga mampu berperan menjadi seorang pekerja harian, akan tetapi kalau kita golongkan ke dalam para TKI kurang relevan dikarenakan dia bekerja untuk eksistensinya dalam dunia pendidikan. Dan sangat wajar kalau dia lebih terhormat untuk sebatas harga seorang TKI. Inilah psikologi sebagian mahasiswa
Namun, deskripsi kehidupan sebagian mahasiswa di atas akan sangat kontras sekali bila di bandingkan dengan sebagian kelompok-kelompok mahasiswa Indonesia yang waktunya lebih banyak dihabiskan untuk bermain-main, atau hanya sekedar tenggelam ke dalam dunia maya dengan dibarengi prosentasi masuk perkuliahan yang rendah. Lalu kemanakan nilai daya juang mereka sebagai ‘Maha’siswa selaku bentuk predikat tertinggi dalam tataran dunia kesiswaan?
Maka, jadikanlah diri anda sebagai mahasiswa yang Ideal demi membangun bangsa
Ingatkah kisah seorang perjuangan sang proklamator "Soekarno",
atau seorang pujangga cinta seperti "Romeo"...!!!
Aku bukanlah seperti mereka. Seorang revolusioner,
berjiwa pejuang dan selalu berada di garis depan menghadapi penjajah.
Dan Aku bukan pula pujangga cinta
yang pandai merangkai puisi-puisi indah untuk pujaan hati.
Namun asal kalian tahu! ...
Aku adalah Aku...
yang dilahirkan dari rahim ibuku...
dan selamanya Aku adalah Aku... Bukan mereka.
Biarkanlah Aku menjadi diriku sendiri.
Mencetak sejarahku sendiri. Mengukir kisah hidupku sendiri. Lihatlah Aku maka kau akan tahu siapa Aku.
By.BadBoiiGenius.
Sapa yang di hatinya tidak mengharapkan sesuatu.
kalau ada pilihan kata untuk mewakili keinginanku,
jika air laut ku jadikan tinta,
tak akanlah cukup tetesan airnya untuk menuliskan all off my wishes.
Cos, keinginan manusia itu tidak akan pernah terbatasi-unlimited-satu harapan
terpenuhi muncul keinginan yang lain.
Namun, ada hal yang selama ini ingin ku gapai.
" I miss my family so much "
one enough, another wishes are on the waiting list.
Lets make our wish!